Posted by : Unknown
2013-02-17
Oleh Ratna
BAGAIMANA mungkin Jepang, negeri yang terletak relatif jauh dari Mesir, pusat dan asal dari Kabbalah (ajaran Yahudi) memiliki keterkaitan dan bahkan diyakini masih satu hubungan darah. Bukankah orang Jepang memiliki kepercayaannya sendiri yang diberi nama Shintoisme dan orang-orang Israel juga memiliki kepercayaannya sendiri yang dinamakan Agama Yahudi dengan kitab Talmudnya?
Yang pertama bernama Arimasa Kubo. Dia merupakan orang Jepang asli yang dilahirkan di kota Itami di Hyogo tahun 1955 dan lulus dari Tokyo Bible Seminary pada tahun 1982. Di usia ke -22 tahun Arimasa Kubo telah mendapat kepercayaan untuk memimpin majalah penginjilan Remnant dan melakukan pelayanan di Gereja Tokyo selama enam tahun. Saat ini, Pendeta Arimasa Kubo memimpin Remnant Publishing dan pengajar tetap di Bible and Japan Forum.
Arimasa Kubo melakukan penelitian mendalam atas tradisi asli bangsa Jepang dan Yahudi. Dia menemukan banyak kemiripan antara keduanya hingga meyakini jika leluhur bangsa Jepang sebenarnya masih berdarah Yahudi dari suku yang hilang. Hasil penelitiannya ini dituangkan dalam banyak artikel dan buku. Salah satunya buku berjudul "Israelites Came o Ancient Japan".
Sedangkan yang kedua, Joseph Eidelberg yang merupakan peneliti berdarah Yahudi yang menulis buku "The Biblical Hebrew Origin of the Japanese People".
Di bawah ini Kami paparkan sebagian kecil kemiripan antara tradisi kuno bangsa Jepang dengan tradisi kuno bangsa Yahudi atau Bani Israel yang berasal dari buku Pendeta Arimasa Kubo tersebut.
Ontohsai Dan Kisah Ishaq
Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama "Ontohsai". Festival ini menggambarkan kisah Ishaq seperti yang terdapat dalam Bab 22 Kitab Kejadian (Genesis), yaitu kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival "Ontohsai" ini diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di "Suwa-Taisha".
Di sebelah kuil "Suwa-Taisha", ada sebuah gunung bernama Gunung Moriya (dalam bahasa Jepang disebut "Moriya-san"). Penduduk di wilayah Suwa memanggil dewa Gunung Moriya dengan sebutan "Moriya no kami", yang berarti "dewa Moriya". Pada festival tersebut, seorang anak laki-laki diikatkan dengan tali pada sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas tikar bambu. Seorang pendeta Shinto menghampiri sang anak sambil menyiapkan sebilah pisau. Sebelum pisau itu diayunkan, tiba-tiba datang seorang pembawa pesan yang kemudian membebaskan anak lelaki itu dari ritual korban. Hal ini tentu saja mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah malaikat datang pada Ibrahim.
Ritual serupa juga terdapat dalam tradisi umat Islam yang dikenal dengan Iedul Adha, hanya dalam Islam yang akan dikorbankan oleh nabi Ibrahim adalah Ismail bukan Ishaq seperti pemahaman umat Kristiani. Hanya saja, di Jepang, pada festival ini yang dikorbankan adalah 75 ekor rusa, yang satu di antaranya diyakini cacat kupingnya. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan oleh tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi Shintoisme.
Penduduk menyebut festival ini sebagai "festival untuk dewa Misakuchi". "Misakuchi" mungkin berasal dari "mi-isaku-chi". "Mi" berarti "besar","isaku" mungkin saja "Ishaq" (dalam bahasa Hebrew adalah "Yitzhak"), dan"chi" adalah sesuatu (semacam partikel-pen) yang dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk Suwa menjadikan Ishaq sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para kaum pagan.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut tak lagi dipraktekkan, tapi kita di sana masih bisa melihat pilar kayu yang disebut"oniye-basira" yang berarti "pilar pengorbanan" (sacrifice-pillar). Kini penduduk menggunakan hewan tiruan sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan pengorbanan. Bagi rakyat di zaman Meiji, lebih kurang satu abad silam, mengikat seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang dianggap sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan. Tapi festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki tersebut dipertahankan hingga permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae, seorang terpelajar Jepang dan pencatat perjalanan yang hidup di zaman Edo, lebih kurang dua abad silam, menuliskan catatan perjalanannya dan mencatat apa yang ia lihat di Suwa.
Catatan ini memperlihatkan keterangan detail mengenai "Ontohsai". Catatan ini mengatakan bahwa upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut, serta pengorbanan binatang, masih berlangsung pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini tersimpan di museum dekat Suwa-Taisha.
Festival ini dipertahankan oleh keluarga Moriya sejak zaman dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa "Moriya-no-kami" (dewa Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka berpikir bahwa "Gunung Moriya" adalah tempat suci mereka. Nama "Moriya" mungkin berasal dari "Moriah" (dalam bahasa Hebrew adalah "Moriyyah") yang juga terdapat dalam Injil kitab Kejadian 22: 2. Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi.
SIMBOL-simbol dan tradisi kuno bangsa Jepang rupanya menjadi keterangan nyata yang mengahantarkan kita bahwa Jepang benar-benar menyerupai tradisi Yahudi. Dan inilah bukti kelanjutan yang mengungkapkan hal demikian.
Fleur du Herod
Simbol Bintang David sebagai simbol kuno bangsa Yahudi juga bertebaran di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan. Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Di setiap lampu terdapat ukiran bintang david, dekat bagian puncaknya. Hiasan yang digunakan di bagian dalam kuil di Ise-jingu juga Bintang David. Ini telah ada sejak zaman kuno. Di prefektur Kyoto, ada kuil "Manai-Jinja", sebuah Kuil Ise-jingu asli. Bentuk Bintang David juga berserak di kuil ini. Sinagog-sinagog bangsa Yahudi yang tersebar di Eropa sejak zaman dulu juga mengukir hiasannya dengan bentuk Bintang David, sama seperti yang ada di Jepang.
Yamabusi dan Phylactery
Para pemimpin religi Jepang disebut "Yamabushi". Dalam pakaian kebesarannya, mereka lazim meletakkan sebuah kotak hitam pada dahi mereka. Ini sama dengan kaum Yahudi yang meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Ibrani) juga di dahi. Yamabushi adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Mereka kini dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang, namun anehnya Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan "Yamabushi" telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Shofar, terompet Yahudi
Keyakinan lain dari Yamabusi adalah menganggap gunung sebagai tempat suci mereka. Ini sama dengan kepercayaan bangsa Yahudi yang menganggap gunung juga tempat suci mereka. Sepuluh Perintah Tuhan (Taurat) diturunkan di Gunung Sinai dan Yerusalem juga adalah kota yang berada di atas gunung.
Torah dan Tora-No-Maki
Omikoshi dan Tabut Perjanjian
Omikoshi di Jepang juga mirip dengan Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian). Dalam Bibel, tertulis bahwa Daud atau David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem. "David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. ...Lalu David yang berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus—begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga mengenakan ephod dari linen. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa." (15: 25-28)
Orang-orang Jepang mengangkut Omikoshi di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya dua tiang. Begitu pula halnya dengan bangsa Yahudi, "Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN." (Kejadian 1 15:15).
Tabut perjanjian Israel memiliki dua tiang (Eksodus 25: 10-15). Bibel juga mengatakan bahwa tiang-tiang tersebut diikatkan pada tabut oleh empat cincin "pada keempat kakinya" (Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut dilekatkan pada dasar tabut. Ini sama dengan Omikoshi.
Dalam festival "Gion-jinja" di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut Omikoshi lalu masuk ke dalam air dan menyeberangi sungai. Bukankah ini mirip dengan tradis Yahudi yang mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan eksodus dari Mesir? Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang terpilih sebagai pengangkut Omikoshi tinggal bersama di sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka bekerja. Ini untuk mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum mengangkut Omikoshi, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri. Ini sama dengan kebiasaan Yahudi, "Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel." (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; "David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun perempuan" (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap orang.
Sumber: islampos